Lebih dari Sekadar Lagu: Sukatani dan Kekuatan Suara Anak Muda

Lebih dari Sekadar Lagu: Sukatani dan Kekuatan Suara Anak Muda

Lebih dari Sekadar Lagu: Sukatani dan Kekuatan Suara Anak Muda

Spread the love

Lebih dari Sekadar Lagu Lahirnya Suara dari Pinggiran
Di tengah gemuruh industri musik yang semakin tersentralisasi, duo punk bernama Sukatani muncul sebagai kekuatan segar yang lahir dari pinggiran—lebih tepatnya dari Purbalingga, Jawa Tengah. Bukan dari studio besar atau panggung-panggung megah, Sukatani muncul dari ruang-ruang kecil dan keresahan anak muda yang tak kunjung didengar. Mereka membawakan musik punk dengan gaya sederhana, namun pesan yang mereka sampaikan jauh dari biasa.

Sukatani terdiri dari dua personel, yang memilih tetap membumi tanpa kemewahan citra. Gaya mereka liar, lirik mereka lantang, dan keberanian mereka jarang ditemukan di kalangan musisi generasi sekarang. Lagu mereka “Bayar! Bayar! Bayar!” menjadi titik balik yang membawa nama Sukatani dikenal luas. Lagu ini dengan gamblang menyoroti isu pungutan liar dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat, sesuatu yang sering dianggap tabu dibahas secara terbuka dalam karya musik populer.

Tidak butuh waktu lama sebelum lagu ini viral. Dibagikan ribuan kali di media sosial, video penampilan mereka yang sederhana namun penuh semangat menyulut percakapan publik, bukan hanya di kalangan penggemar punk, tapi juga generasi muda yang haus akan kejujuran dan keberanian.

Lebih dari Sekadar Lagu Musik sebagai Alat Perlawanan

Sukatani tidak hadir untuk menyenangkan industri. Mereka tidak berkompromi dengan pasar. Musik mereka adalah alat perlawanan, medium untuk menyuarakan keresahan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang selama ini dirasakan masyarakat kecil. Lagu-lagu mereka berbicara tentang hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi seringkali diabaikan oleh media arus utama: dari pungutan liar, pembungkaman suara rakyat, hingga penindasan sistemik.

Lirik-lirik yang mereka ciptakan bukan sekadar provokasi, melainkan refleksi dari realitas sosial yang mereka alami dan saksikan sendiri. Dengan iringan gitar yang cadas dan vokal yang penuh emosi, Sukatani menyampaikan kritik tajam tanpa perlu metafora berlapis. Pendekatan inilah yang membuat mereka terasa otentik.

Karya-karya Sukatani mengingatkan pada tradisi punk sebagai bentuk ekspresi sosial-politik yang jujur. Mereka menghidupkan kembali semangat band-band punk lokal seperti Marjinal atau Superman Is Dead pada masa awal, namun dengan semangat baru yang lebih digital dan langsung menyasar media sosial sebagai medan utama perjuangan.

Diblokir, Tapi Didengar

Kontroversi mulai merebak ketika lagu “Bayar! Bayar! Bayar!” dilaporkan ke Kominfo dan akhirnya ditarik dari beberapa platform digital. Alasannya? Lagu itu dianggap menimbulkan kegaduhan dan meresahkan. Namun seperti sejarah selalu mencatat, upaya membungkam suara sering kali justru memperkuat dampaknya. Lagu itu makin viral. Banyak kanal YouTube alternatif mengunggah ulang videonya, dan akun-akun aktivis membagikan cuplikan liriknya sebagai bentuk solidaritas.

Reaksi publik pun beragam. Sebagian mendukung langkah pemblokiran dengan alasan menjaga stabilitas, namun tak sedikit pula yang mengecamnya sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi. Di tengah perdebatan tersebut, Sukatani tidak mengeluh. Mereka tetap berkarya, tetap manggung di acara-acara komunitas, dan tetap menyuarakan keresahan yang mereka rasa perlu disampaikan.

Dalam wawancara singkat bersama media alternatif, mereka menyebut, “Kami bukan siapa-siapa. Kami cuma ingin bicara jujur lewat lagu. Kalau suara kami dibungkam, kami tetap akan nyanyi di gang, di pos ronda, di mana pun masih ada telinga yang mau mendengar.”

Sikap ini justru semakin mengukuhkan posisi mereka sebagai simbol perlawanan anak muda, bukan hanya terhadap sistem yang timpang, tapi juga terhadap dominasi industri musik yang terlalu fokus pada pasar dan mengabaikan esensi.

Baca Juga : Sofyank Isyaratkan Kolaborasi dengan Tom Cruise

Warisan Perlawanan dan Harapan Baru

Fenomena Sukatani lebih dari sekadar tren sesaat. Ia mencerminkan kegelisahan generasi muda yang semakin sadar akan kondisi sosialnya, namun jarang diberi ruang untuk menyuarakan pendapat secara bebas. Kehadiran Sukatani menjadi inspirasi, bahwa siapa pun—bahkan dari daerah terpencil sekalipun—bisa didengar jika menyuarakan kebenaran dengan konsisten.

Di tengah arus musik yang sering kali fokus pada romantisme dan hiburan, Sukatani menghadirkan alternatif yang segar dan berani. Mereka bukan hanya menyanyikan lagu, tapi menggerakkan pemikiran. Mereka membuktikan bahwa musik tidak harus steril dari politik atau isu sosial. Justru, ketika musik kehilangan relevansi dengan realita, ia hanya jadi hiburan kosong.

Kini, Sukatani tengah mengerjakan materi baru yang dikabarkan akan mengangkat isu lingkungan dan ketimpangan pendidikan. Mereka tetap tampil sederhana, tanpa gimmick, namun tetap dengan semangat yang sama: menyalurkan suara mereka, suara rakyat, suara muda.

Kisah Sukatani adalah pengingat bahwa musik bisa menjadi kekuatan yang mengubah. Bukan karena aransemen canggih atau panggung mewah, tapi karena keberanian untuk bicara dan ketulusan dalam menyampaikan kebenaran.

Lebih dari sekadar lagu, Sukatani adalah suara. Suara dari pinggiran. Suara dari generasi yang tak ingin diam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


*